Donnerstag, 30. April 2009

Teropong Kopaja

Latihan voli yang dijadwalkan hari ini tidak dihadiri oleh Babedan akhirnya kami bermain-main biasa sampai pukul 3. Cukup ramai latihan itu, dan itu bertanda baik. Setelah selesai bermain-main saya putuskan untuk pulang sendiri dengan Kopaja 605, seharusnya pulang bersama sang ayah, tetapi pukul 6 masih 3 jam lagi dan teralu lama untuk menunggu. Lekas-lekas aku pulang, jalan kaki dari sekolah ku, Kolese Gonzaga sampai pertigaan Ampera. Menunggu sekitar 20 menit lebih dan ada 3 anak Gonz yang juga menunggu bus yang sama. Saat menunggu bertemu guru matematika baru, Pak Widi namanya dia mengajak mengobrol sebentar menanyai mengenai jurusan kelas 3 yang akan diambil,dan dia menjelaskan waktu dulu dia diperbolehkan pindah jurusan di kelas 3, tetapi ini Gonz bukan JB, ini sekarang bukan dulu.

Akhirnya Kopaja datang, dan segera menaiki nya. Perjalanan menuju jalan baru ditempuh sekitar 20 menit lebih. Pertigaan Trakindo membuat kopaja yang lenggang itu menjadi cukup sesak, disitu aku meneropong orang-orang di jalan, mereka semua cari makan. Seorang pengamen anak kecil masuk dalam kopaja dan membagikan amplop untuk hasil dari mengamennya. Setelah dia membagikan, dilanjutkan dengan bernyayi, dia menyanyi tidak mengenal nada lagu yang dinyanyikan juga tidak jelas. Suara anak itu membuat hati menjadi miris, dan membuat pertanyaan di benakku.Kenapa anak itu harus seperti itu, seharusnya dia bersekolah. Hidup dijalan bukanlah kemauannya, keadaan yang memaksanya atau mungkin orang tua yang memaksanya. Setiap anak harus mengenyam pendidikan dan itu sudah tercantum dalam UUD 1945 dan tertulis dalam Piagam Atlantic Charter ( kalau tak salah ). Mengapa mereka bisa seperti itu? Dan saya menjawab mereka seperti itu karena mentalitas korupsi dan mungkin mentalitas budaya menerima yang ada dalam masyarakat. Berdiam sesaat, saya sadar kemiskinan bukan ada karena orang malas, KEMISKINAN ADA KARENA DICIPTAKAN. Siapa yang menciptakan? jelas yang menciptakan adalah kaum Kapitalis yang berkuasa dan menindas proletariat.
Jika mentalitas korupsi dihapuskan lalu budaya tanggung jawab lahir, maka hal itu mungkin tidak akan ditemui. Bangsa ini teralu mengedepaankan sandang pangan papan saja, dia melupakan PENDIDIKAN sebagai dasar dari perkembangan pendidikan.

Perut atau Otak dulu yang didahulukan?
Jika perut : sebuah budaya malas yang mau dibayar dulu mau bekerja
Jika otak : budaya pekerja keras yang yakin dengan belajar dan bekerja secara cerdas makan perut akan terpenuhi.

Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen