Samstag, 14. März 2009

Sekolah Sulit Menyosialkan Pelajarnya


J Drost, SJ


Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membantu anak menjadi orang
dewasa mandiri dalam kehidupan bermasyarakat. Itulah sosialisasi!

Semua manusia muda, sampai di pelosok pun, telah atau mulai mengalami
modernisasi dan menikmatinya. Kata dasar modernisasi adalah kata
Latin modus, artinya: cara. Kemudian timbul kata Prancis mode, yaitu
cara khusus mengenai berpakaian, berdandan, memangkas rambut, berhias
sampai bergagasan. Lantas orang yang mengikuti cara, mode, itu
dikatakan modern. Usaha penyesuaian itu disebut modernisasi. Yang
kemudian artinya diterapkan kepada setiap ikhtiar guna membedakan
diri dari cara yang sudah lewat. Usaha modernisasi ini dapat
bermotifkan keinginan menyesuaikan diri dengan apa yang sekarang
berlaku atau bermotifkan kesadaran akan keharusan meninggalkan yang
sudah usang demi perbaikan hidup.

Sikap yang mendasari keinginan menyesuaikan diri dengan yang sekarang
berlaku sebetulnya bukan modernisasi, melainkan konformisme. Dalam
modernisasi sejati ada pendapat pribadi mengenai yang baru itu,
sedang dalam konformisme hanya sikap ikut-ikutan saja. Gaya
konformisme sangat kuat di antara kaum muda. Mereka baru meraih
identitas diri yang masih lemah, maka dibutuhkan pengukuhan atas
identitas tersebut. Yang amat diperlukan adalah diterimanya oleh
kelompok baya, peer group, yang dianggap paling modern.


Apakah sebetulnya kelompok tersebut modern atau kolot pandangan
hidupnya, bukan hal penting. Yang dicari adalah pengukuhan dan
penggalangan lewat diterima oleh kelompok baya. Kelompok itu akan
menuntut penyesuaian mutlak guna mempertahankan identitas kelompok.
Jadi, pengukuhan demi menopang identitas diri yang masih lemah itu
diperoleh lewat konformisme. Kalau kelompoknya sungguh-sungguh
mendukung modernisasi, ia akan ikut. Namun, bila mereka bernostalgia
akan hidup primitif, suatu mode baru, ia pun akan suka hidup
primitif.

Berbahaya

Konformisme inilah yang berbahaya, karena mematikan identitas diri.
Selama pada masa perkembangan hanya ikut-ikutan saja, orang muda akan
menjadi orang dewasa yang tidak dapat bertanggung jawab, tidak
berinisiatif, dan pembeo belaka. Kegotongroyongan dan mental pasrah
terserah nasib, yang mudah terhanyut dalam arus masyarakat, sangatlah
kuat. Orang yang mengungkapkan kepribadiannya yang khas sangat mudah
dicap individualis, sombong, ingin menonjol, dan sebagainya.

Masyarakat kita adalah masyarakat yang suka pada pakaian seragam,
satu bahasa, satu gerak dan sebagainya; penuh dengan orang yang suka
ikut-ikutan, dan berkecenderungan latah ikut mode macam-macam tanpa
berpikir, apa perlu atau tidak, baik atau tidak.
Lebih suka hanyut
dalam arus daripada ribut-ribut, walaupun jelas arus itu keliru.
Jarang ditemukan orang yang benar-benar berkepribadian, dan yang
berani menanggung risiko untuk teguh mampu bersikap lain dari sikap
kebanyakan orang yang memang kaprah tersebar luas, tetapi salah.
Seolah-olah kita berpendirian "lebih aman hancur bersama-sama orang
banyak daripada benar lagi selamat tetapi sendirian".

Yang sekarang amat memprihatinkan adalah bahwa konformisme itu, yang
menjadikan mereka orang yang dikolektivisasi, tidak diatasi oleh
pendidikan yang mendewasakan, akan tetapi justru terus-menerus
diperkuat oleh pendidikan yang ciri khasnya seragam. Sistem
pendidikan maupun pembelajaran kita mendukung kolektivisasi, dengan
demikian justru mengubah pribadi-pribadi kreatif menjadi penurut.

Proses ini sudah dimulai pada saat manusia lepas dari keadaan yang
diciptakan Tuhan, yaitu keluarga. Mulai TK sampai dengan SMU dan SMK,
segala-galanya harus seragam. Pakaian, sepatu, peci, rambut, semua
uniform ialah bentuk yang sama. Seragam. Di perguruan tinggi tidak
ada pakaian seragam. Namun, kurikulum, sistem ujian, matakuliah-
matakuliah efektif, praktikum, semua seragam dan sama. Keseragaman
berpikir. Kreatif? Mustahil. Menjadi pegawai negeri, pakaian seragam;
dan di kantor-kantor terdapat buku pedoman, buku petunjuk
pelaksanaan, agar tidak ada ruang berpikir bebas dan hanya boleh
mengikuti pikiran yang berkuasa. Terjadi kolektivisasi secara mutlak.
Apakah ini orang yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat modern?
Jelas bukan!

Pembangun masyarakat modern adalah mereka yang tahu akan dan menerima
baik keunggulan maupun kelemahannya. Ia tidak dihinggapi oleh
kerendahan hati palsu, karena ia sadar akan dan bangga atas
kepribadiannya yang berharga dan penting juga bagi sesama. Ia
mempergunakan kemampuannya secara penuh. Ia pantang mundur kendati
ada kekurangan padanya. Ia menerima dirinya sendiri maupun orang lain
apa adanya. Ia tidak berkelit menghadapi kenyataan, sebaliknya ia
berani to face the facts, beradu dada dengan kenyataan. Pendek kata,
laki-laki dan perempuan yang kompeten, bertanggung jawab dan penuh
perhatian untuk sesama mereka. Mereka adalah pribadi mandiri dan
kreatif yang merupakan daya manusia, human resources, untuk
modernisasi sejati.

Lagi, yang memprihatinkan adalah bahwa sistem pendidikan dan
pembelajaran kita, sistem persekolahan kita, mustahil menjadi sumber
daya manusia itu, hanya bisa menjadi sumber anggota kolektivisme yang
mustahil berkepribadian dan mustahil kreatif. Bukan karena orang
Indonesia. Anak-anak Indonesia amat kreatif dan kadar kemandiriannya
sangat tinggi, karena mereka belum masuk sistem kolektivisasi yang
disebut sekolah sampai dengan perguruan tinggi.

Kolektivisasi itu adalah musuh utama dari sosialisasi. Sosialisasi
adalah usaha menjadikan manusia muda menjadi pribadi dewasa mandiri
yang kompeten, bertanggung jawab dan memiliki kepedulian sosial
tinggi. Pribadi itu percaya akan diri sendiri, tidak merasa rendah
diri, terbuka, dan menerima semua orang lain, walau orang itu berbeda
pendapat.
Sebaliknya, hasil kolektivisasi adalah orang seperti
anggota kawanan, tidak berkepribadian, selalu bertumpu pada orang
lain dan pendapatnya.

Sekolah-sekolah kita mustahil mengadakan sosialisasi. Selain sistem
persekolahan kita, sikap para pengajar dan pendidik yang masih amat
feodal, keadaan sekolah-sekolah kita tidak memungkinkan adanya
sosialisasi. Populasi sekolah merupakan kumpulan orang muda dari SD
sampai SMU, yang terdiri atas individu-individu yang tidak mempunyai
tujuan lain selain mengembangkan intelektualitas masing-masing.
Itulah memang hakikat sebuah sekolah. Hubungan antara individu satu
dengan individu yang lain terjadi hanya selama beberapa jam di sebuah
ruangan yang sama. Tidak ada hubungan sedarah sedaging seperti di
keluarga, juga tidak ada hubungan senasib seperti di sebuah asrama.
Masuk ruangan itu dari mana-mana dan pergi meninggalkan ruang itu
kemana-mana.

Sebuah sekolah bukanlah tempat untuk sosialisasi. Para pelajar hanya
tahu nama anak sekelas, yang lain adalah orang asing bagi mereka.
Kalau dari satu kelas ada yang sungguh-sungguh menjadi teman, itu
bukan karena sekelas akan tetapi karena tetangga sekompleks,
seorganisasi, Gereja, Masjid, atau seperkumpulan olahraga. Memaksa
sosialisasi dengan mewajibkan mengikuti salah satu ekstrakurikuler
adalah salah besar, karena akibatnya justru kebalikannya, yaitu
kolektivisasi dan kebencian terhadap ekstrakurikuler. Sosialisasi
berasal dari kata Latin socius yang berarti teman, rekan, sahabat.
Masakan persahabatan bisa dipaksakan dan diorganisir?

Sebab Lain

Masih ada sebab lain, mengapa sosialisasi tidak mungkin terjadi di
sekolah-sekolah di Indonesia. Kebanyakan orangtua tidak mendidik anak
mereka untuk menerima diri sendiri apa adanya. Tidak boleh ada anak
yang lebih daripada anak mereka. Akibatnya pelajar kita pasif, tidak
berani bertanya di kelas. Itu benar. Sebab kalau seorang pelajar
bertanya, seluruh kelas mulai berteriak goblok-goblok-goblok atau
carmuk-carmuk-carmuk (cari muka). Tidak boleh ada anak lain yang
menonjol. Pelajar-pelajar tidak berani mendapat nilai tinggi, karena
langsung dicap sombong, egoistis. Saya alami bahwa lima anak menteri
melarikan diri dari SMU-SMU saya karena diteror oleh pelajar-pelajar
lain "Kamu diterima karena ayahmu menteri". Mana tahan! Di UI terjadi
yang sama.

Itulah pengalaman saya selama 16 tahun di sekolah-sekolah favorit di
Jakarta. Anak-anak kita amat iri hati. Tidak dapat menerima bahwa di
sekolah ada pelajar yang lebih pandai dari mereka atau orang tua yang
lebih tinggi posisinya atau lebih kaya. Tidak ada masalah, selama
pelajar tidak mengetahui siapa orangtua pelajar-pelajar lain. Itulah
akibat pola pendidikan tertentu yang tidak menjadikan anak menerima
diri apa adanya.

Ada anak sulung yang prestasinya di sekolah 6-6,5. Adiknya amat
pandai, 9 itu prestasinya. Ibu muncul dan menegur si adik. Jangan
menonjol, 7 cukup karena nanti kakakmu tersinggung. Kedua anak ini
hancur. Yang sulung merasa didukung bahwa tidak boleh ada anak yang
lebih pandai daripada dia. Ia makin iri hati. Adiknya mogok studi.
Ada hasil malah dimarahi. Bagaimana cara yang baik mendidik kedua
anak itu? Kepada yang sulung harus diberitahu bahwa Bapak dan Ibu
puas dengan nilai-nilainya. Tidak perlu lebih, tiap-tiap anak harus
berprestasi sesuai dengan kemampuannya. Ia harus bangga bahwa
mempunyai adik yang pandai. Kepada si adik: Belajarlah terus,
berprestasilah sesuai kepandaianmu. Kami sekeluarga bangga atas nilai-
nilaimu. Kamu boleh bangga, tetapi jangan menganggap remeh mereka
yang tidak sepandai kamu. Untuk kehidupanmu nanti yang penting tidak
hanya menjadi orang pandai. Dua anak ini akan menjadi pribadi dewasa
mandiri. Banyak masalah di sekolah ber-asal dari sikap Ibu yang
menuntut bahwa semua anaknya harus menjadi pandai, peringkat I, kalau
perlu memakai guru-guru les. Kepribadian anak yang diperlukan
demikian akan menjadi amat lemah, tidak mempunyai rasa percaya diri.
Sosialisasi gagal.

Sekolah pada umumnya dan keadaan sekolah di Indonesia pada khususnya
bukan tempat yang baik untuk sosialisasi. Keluarga dan masyarakat
itulah tempat orang menjadi manusia yang berkepedulian sosial tinggi.

Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen