Samstag, 14. März 2009

Pendidikan dan Dialog

J Drost

ALLAH menyerahkan pengelolaan dunia kepada manusia. Sebagai makhluk yang berkemauan bebas, manusia menentukan cara hidup dan pengelolaan dunia sesuai kehendak mereka. Setiap manusia adalah pribadi khusus yang dicintai Allah. Sesuai dengan kekhususan pribadi itu, manusia membalas cinta kasih Allah. Tiadanya pribadi yang sama mengakibatkan macam pengelolaan dunia sebagai balasan atas cinta Allah sebanyak jumlah manusia di permukaan bumi.

NAMUN, karena dasarnya adalah cinta tunggal dari Allah yang sama kepada semua, perlu diusahakan kesatuan bangsa manusia. Memang baru dimulai, karena kesatuan sejati baru akan diraih setelah sejarah dunia berakhir, di akhirat. Salah satu cara yang paling cocok untuk mengusahakan kesatuan bagi makhluk berbudi adalah dialog. Untuk itu, manusia harus memiliki jati diri yang kuat dan sikap menerima serta menghormati jati diri teman dialog.

SAYA berani mengatakan, toleransi menghalangi usaha dialog karena sikap toleran pada dasarnya tidak menghargai jati diri orang yang diajak berdialog. Toleransi berasal dari kata kerja Bahasa Latin tolerare, artinya: ’mengangkat dan memikul’.

Mengangkat dan memikul adalah kegiatan yang memberatkan orang. Orang yang toleran adalah orang yang menyerah kepada keadaan. Saya tidak setuju, tetapi apa boleh buat. Daripada ribut dan repot, mengalah saja.

Toleransi terhadap orang lain mengenai apa saja adalah sikap negatif. Lebih baik agama itu atau sikap politik itu tidak ada, hingga saya bisa hidup dengan aman dan nyaman. Keinginan itu tidak mungkin dipenuhi, maka daripada berdebat dan berkelahi lebih baik yang lain ditenggang saja.

Pendapat saya mungkin terlalu tajam, tetapi praktik toleransi sering kali tak lain dan tak bukan gencatan senjata yang sering dilanggar. Sebab apa? Karena toleransi tidak berdasarkan sikap positif. Dasarnya adalah sikap menghindari politik. Sikap itu telah tertanam dalam jiwa kita sejak kecil.

Pendidikan kita terlalu menekankan unsur tenggang rasa atau tepa selira. Maksud perilaku itu adalah hidup selaras dan damai dengan sesama demi rasa damai itu sendiri. Hindarilah setiap tindakan yang dapat mengakibatkan masalah atau keonaran. Elakkan apa saja yang menimbulkan konflik.

Padahal, situasi konflik adalah kenyataan hidup yang mau tak mau harus dihadapi. Tak ada keberanian untuk menghadapi kenyataan itu, karena pendidikan yang ada tidak membentuk jati diri. Pendidikan itu tidak menjadikan pribadi dewasa mandiri. Maka, kemampuan untuk mengadakan dialog tidak tumbuh. Juga, pendidikan itu membuat hubungan dengan dunia luar berlangsung egosentris.

Sikap jangan mengganggu orang lain tidak demi orang lain, sebab tolok ukur segala-galanya hanya diri sendiri. Paling-paling toleran, tetapi sikap itu tidak cukup. Seseorang akan mampu berdialog dengan orang lain, bila dia menghargai orang lain.

Saya berpegang pada agama saya, dan justru karena keyakinan itu saya dapat menghargai pribadi-pribadi yang beragama lain. Benar, saya tidak menghargai agama lain seperti agama saya sendiri. Iman saya tunggal. Bila saya menghargai agama lain lebih dari agama saya, sebab apa saya tidak memeluk agama lain itu? Saya dapat berdialog dengan orang lain agama, sebab saya menghargai dia sebagai pribadi yang memeluk agama lain itu. Dan saya yakin, bagi dia agamanya merupakan hal yang paling berharga.

SAYA beranggapan, terhadap orang yang beragama lain saya bisa bersikap anti dan bisa toleran. Akan tetapi, suasana tetap tegang. Itu kerukunan rineka, artificial. Mustahil bisa sungguh-sungguh rukun dengan seseorang yang tidak saya hargai. Itu sikap pura-pura, bahkan munafik. Kerukunan antarorang beragama bukan merupakan usaha menghindari konflik, karena tidak mungkin rukun dengan seseorang yang dihindari.

Salah satu kebiasaan masyarakat yang bermaksud baik, tetapi ternyata mempersulit pengembangan sikap berdialog adalah musyawarah untuk mufakat. Musyawarah ada di mana-mana, di muka bumi. Musyawarah selalu diadakan oleh sejumlah orang. Mereka berpendidikan dan mempunyai pendapat pribadi. Bagaimana mungkin semua orang itu berpendapat sama? Bila itu terjadi, pengikut musyawarah itu tak lain dan tak bukan anggota kawanan yang tidak berkepribadian. Memaksa orang mengambil alih pendapat umum merupakan penghancuran kepribadian. Mufakat mengenai pendapat mustahil.

Lain perkara dengan mufakat dalam pelaksanaan. Kalau jelas bahwa kebanyakan berpendapat demikian, saya harus loyal dalam melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh kebanyakan anggota pembicaraan, meski saya berpendapat lain. Mufakat mengenai pelaksanaan, itulah kerja sama sejati. Itu saya laksanakan tanpa perlu mengubah pendapat saya sendiri. Hanya bila semua yang mengambil bagian dalam suatu dialog memiliki kedewasaan untuk menerima pendapat orang lain untuk dilaksanakan, dialog antarorang beragama mungkin.

Jangan lupa, kita semua diciptakan untuk dicintai Allah. Membalas cinta Allah hanya mungkin lewat menerima panggilan hidup pribadi. Memang saya tidak perlu dan tidak boleh menyesuaikan jalan hidup saya dengan keinginan-keinginan orang lain. Allah memanggil saya, dan orang lain pun dipanggil Allah. Karena itu, saya tidak boleh memaksa orang lain menempuh jalan hidup saya. Itu berarti tidak mungkin ada dialog antaragama, tidak mungkin tercipta kerukunan antaragama. Saya tidak dapat menghargai agama lain karena agama itu bukan cara saya membalas cinta Allah. Yang dapat saya terima dan saya hargai adalah orang yang beragama lain. Maka, yang mungkin adalah dialog antarorang beragama yang akan menciptakan kerukunan antarorang beragama.

KENDALA paling mendasar untuk mengadakan dialog dan mencari kerukunan adalah ketidakmampuan membedakan antara pendapat orang dan orang yang berpendapat. Kemampuan membedakan itu menuntut penalaran obyektif tanpa terbawa arus perasaan.

Orang yang tidak dapat membedakan pendapat orang dari orang yang berpendapat akan selalu melawan orangnya. Karena tidak dapat menangkis pendapat yang menurutnya salah, ia menyerang orangnya. Musyawarah menjadi perkelahian. Atau, karena saya kalah, saya tinggalkan pembicaraan.

Sekali lagi, kerukunan tidak mungkin antaragama. Yang mungkin adalah kerukunan antarorang beragama. Dengan demikian saya bisa menjadi teman dan rekan orang yang pendapatnya tidak saya terima. Itulah sikap seorang pribadi yang dewasa yang tidak terbawa emosi primordial yang didasarkan atas agama. Sayang, tidak hanya rakyat, tetapi juga banyak pemimpin belum mencapai kedewasaan itu.

Kecurigaan ini tidak pernah dapat dihilangkan selama kita hanya toleran. Dialog hanya dapat diadakan antarorang yang saling menghargai.

Karena pekerjaan, saya banyak berhubungan dengan orang-orang Islam baik di pemerintahan maupun di kalangan swasta. Saya diterima penuh, kendati mereka mengetahui saya seorang Katolik, seorang imam, seorang Jesuit. Kami sering membicarakan masalah-masalah agama, dan kami saling menghargai sebagai orang yang mempunyai pendapat. Pendapat kami sangat berbeda, tetapi perbedaan itu justru memperkaya.

Mungkin, generasi tua sudah sulit diajak berdialog. Generasi muda harus kita bentuk agar siap mengadakan dialog dengan siapa saja. Persekolahan, lebih-lebih sekolah menengah (SLTP, SMU, dan SMK) dan perguruan tinggi merupakan lembaga-lembaga yang paling baik untuk membentuk mereka.

Masih ada masalah lain. Bila kita berusaha menerima pelajar yang berlainan agama, mereka harus dididik menjadi seorang pribadi dewasa dan mandiri. Tetapi, mendidik seseorang menjadi seorang pribadi dewasa dan mandiri tidak mungkin, bila unsur agama sebagai salah satu unsur pokok tidak diperhitungkan. Karena itu, semua pelajar harus mendapat pengajaran agama sesuai agamanya. Dan, pengajaran agama itu dari seorang guru agama yang kompeten dan yang seagama. Guru agama itu dipilih dan diangkat Yayasan, tidak oleh Depdiknas atau instansi lain.

Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen