Samstag, 14. März 2009

Kita Belajar untuk Hidup, Bukan Cuma Meraih Ijazah

JAKARTA – J. Drost, SJ tidak bisa lepas dari dunia pendidikan. Rohaniawan berdarah Belanda kelahiran 1 Agustus 1925 ini nyaris telah membaktikan seluruh hidupnya bagi pendidikan di Indonesia.
Pengajar dan guru ini pernah menjabat rektor Institut Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sanata Dharma, 1968-1976 dan direktur SMA Kanisius Jakarta, 1977-1986.
Pandangannya tentang dunia pendidikan di Indonesia tetap kritis semenjak dia masih melihat makna pendidikan senantiasa dipersempit kepada kegiatan sekolah dan perolehan ijazah semata. Padahal, kegiatan informal di masyarakat dan keluarga siswa juga termasuk bagian penting dari proses pendidikan. Pada akhirnya, penyempitan makna tadi mendorong siswa mengejar ijazah, sementara lembaran ijazah itu tak memberi dia kehidupan.
J. Drost SJ adalah pemikir pendidikan dari mashab non scholae sed vitae discimus (kita belajar untuk hidup, bukan hanya meraih ijazah), suatu prinsip yang sangat ditekankan Serikat Jesuit, biara tempat J. Drost bernaung, yang terkenal dengan pendidikan dan latihan disiplin berpikir sebagai spesialisasi Serikat Jesuit bagi siswa dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Dalam rangka memperingati 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional, wartawati SH Merry Magdalena bertukar-pikiran dengan J. Drost SJ di rumahnya, Wisma Samadi, Klender, Rabu (1/5). Petikannya:

Sinar Harapan (SH): Hari ini kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Bagaimana komentar Pak Drost mengenai pendidikan kita belakangan ini?
J. Drost: Pengertian kata pendidikan di Indonesia sendiri sudah salah kaprah, rusak total. Orang Indonesia selalu menghubungkan pendidikan dengan segala yang berbau sekolah dan kurikulum. Padahal itu jelas salah!

SH: Lalu bagaimana sebenarnya pengertian pendidikan itu?

J.Drost: Kata pendidikan tidak bisa disamakan dengan pengajaran sebagaimana kata educate dalam bahasa Inggris. Pendidikan adalah proses informal yang berlangsung di masyarakat. Proses ini dimulai dari masyarakat terkecil yaitu keluarga, kemudian sekolah. Sedangkan pengajaran merupakan proses formal pada bidang kognitif. Keduanya jelas sangat berbeda.

SH: Sampai kapan proses pendidikan ini berlangsung?
J.Drost: Di luar keluarga, seorang anak tetap mendapat pendidikan hingga bangku sekolah. Di Taman Kanak-kanak (TK) seseorang harus mendapat pendidikan sepenuhnya, bukan pengajaran. Kalaupun ada pengajaran, hanya mengenal huruf dan angka saja lewat bermain.

SH: Lalu bagaimana dengan TK yang mengajarkan baca tulis?
J.Drost: Itu salah! Salah! Salah! Ini yang namanya merusak anak Indonesia!

SH: Tapi kini banyak sekolah dasar (SD) yang hanya mau menerima siswa yang sudah bisa baca tulis sejak TK.
J.Drost: Itu salah besar! Sekolah macam ini harus ditutup, kalau perlu kepala sekolahnya dikeluarkan.

SH: Bagaimana dengan sekolah elit yang mengajarkan bahasa Inggris sejak SD bahkan TK?
J.Drost: Di seluruh dunia ini tidak ada negara yang menghalalkan pengajaran bahasa asing pada tingkat sebelum sekolah menengah. Kurikulum resmi pemerintah kita juga tidak memasukan bahasa Inggris. Tapi akibat ulah orang tua yang sok gengsi, sok ingin anaknya bisa bahasa Inggris, maka muncullah sekolah macam ini. Padahal omong kosong itu semua! Seharusnya sampai lulus SD, siswa hanya diajarkan bahasa Indonesia, titik.

SH: Apakah tidak ada aturan tentang itu?
J.Drost: Pemerintah sudah tentu melarangnya. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena orangtua punya duit, dan sekolah butuh duit. Di sinilah duit merusak sekolah, merusak pengajaran. Baru kemudian pada tingkat sekolah menengah (SMP dan SMA), pengajaran diberi 75 persen, sisanya pendidikan.

SH: Apa yang salah dengan pendidikan di Indonesia?
J.Drost: Masalah paling pokok di sini adalah lulusan SD tidak ditampung dalam sekolah sesuai kemampuannya. SMP di Indonesia hanya ada satu macam. Di negara lain ada tiga macam SMP, tidak dikenal juga yang namanya Evaluasi Belajar tahap Akhir nasional (Ebtanas). Sebab anak di tingkat SD dianggap belum bisa memahami, melainkan hanya menyerap. Jika anak tingkat SD bermain dengan anak Eskimo misalnya, ia akan otomatis belajar bahasa Eskimo tetapi hanya sesaat. Demikian juga bahasa lain. Maka adalah kesalahan besar mengajarkan bahasa Inggris di tingkat SD.

SH: Apa berarti Ebtanas harus dihapus?
J.Drost: Saya setuju sekali, asal harus diganti dengan tes berbeda yaitu psikotes. Sebab anak SD masih belum mampu memahami suatu pelajaran, yang bisa hanya menghafal. Tentu kita tidak mau menilai seseorang hanya dari kemampuan hafalan, kan?

SH: Tadi Anda menyebut ada tiga macam SMP di negara lain?
J.Drost: Di tingkat internasional, ada tiga golongan SMP. Kira-kira 30% adalah SMP yang terdiri atas lulusan SD dengan nilai 7 ke atas, 50% adalah mereka yang mendapat nilai antara 6 dan 7, 20 % di bawah 6. Di Eropa serta beberapa negara Asia seperti Singapura, Malaysia, Jepang juga Australia, lulusan SD masuk ke sekolah kusus untuk anak pintar. Di Jerman disebut Gimnasium, di Inggris dan Belanda lain lagi istilahnya.
SMP di negara lain digabungkan dengan SMA, yaitu sekolah menengah. Lulusan sekolah menengah yang masuk kategori unggul ini diperbolehkan masuk universitas. Sedangkan anak lulusan SD dengan nilai antara 6 hingga 7 direkomendasikan melanjutkan ke sekolah menengah dengan kurikulum yang lebih ringan dibanding sekolah unggul tadi. Setelah lulus nanti mereka tidak boleh masuk universitas, melainkan sekolah tinggi atau akademi.
Yang memiliki nilai di bawah 6, mereka masuk ke sekolah menengah kejuruan yang menitikberatkan pada keterampilan. Jadi lulus SMA nanti mereka benar-benar punya ketrampilan untuk modal kerja.


SH: Bagaimana dengan sistem di Indonesia?
J.Drost: Di Indonesia tidak ada sistem penggolongan semacam itu. SMP, SMA semua sama. Pendidikan 9 tahun yang ditetapkan pemerintah bisa dikatakan gagal. Karena banyak petani yang tidak mau anaknya melanjutkan ke SMP selulus SD, sebab lulusan SMP di negeri ini tidak bisa mendapat kerja apa-apa. Ketrampilan Omong kosong. Sedang di Jerman, sejak tingkat SMP diajarkan ketrampilan, yaitu dalam sehari terdiri atas tiga jam pelajaran umum, tiga jam pengajaran ketrampilan. Jadi seorang lusan SMA di sana siap memasuki dunia kerja.

SH: Apakah karena sistem yang salah ini maka membuat SDM Indonesia begitu buruk?
J.Drost: Ya, benar sekali! Sejak dulu itu sudah terbentuk. Saat dijajah Belanda, mereka tidak memaksakan bahasa Belanda kepada bangsa Indonesia. Perancis, Inggris, Italia, Portugis mengajarkan bahasanya kepada bangsa yang dijajah. Tapi Belanda dulu memerlukan pegawai pribumi. Maka dibuatlah sekolah bagi pribumi seperti ongko siji (angka satu) dan ongko loro (angka dua).

SH: Bagaimana perjalanan pendidikan kita?
J.Drost: Setelah perang berakhir, HIS berubah jadi SD, MULO menjadi SMP dan AMS menjadi SMA, kini SMU. Dulu di daerah setelah jenjang SMP bisa ke sekolah kejuruan, tapi lama kelamaan semua lulusan SMP mau masuk ke SMA, tidak peduli mampu atau tidak. Lulusan SMA ini semuanya ingin melanjutkan ke universitas, tanpa melihat kemampuan otaknya.
Akibatnya yang lolos UMPTN hanya 10%, sedangkan sisanya tertampung di perguruan tinggi swasta. Itu pun tidak semua mahasiswa lulus dari perguruan tinggi, 85%-nya mengalami drop out, melebihi angka normal yang hanya 20%. Akibat ini maka pemerintah menetapkan kurikulum ‘94 yang setaraf dengan kurikulum internasional, contohnya Belanda, Inggris dan Jerman. Padahal kurikulum ini sebenarnya di luar negeri berlaku bagi siswa yang lulus SD dengan nilai 7 ke atas, tapi di Indonesia dipraktekan untuk semua, maka kacau totallah semua.


SH: Apa pernah ada usul untuk merombak sistem pendidikan di Indonesia?
J.Drost: Saya sudah mengusulkan puluhan kali ke Departemen Pendidikan Nasional setiap ada rapat. Mereka setuju dan mengiyakan, tapi tidak pernah ada pelaksanaannya.

SH: Berarti kurikulum harus dirombak?
J.Drost: Tidak, bukan kurikulumnya. Kurikulum kita sudah cukup baik. Tapi sistemnya.

SH: Bagaimana dengan munculnya sekolah-sekolah unggul atau favorit?
J.Drost:Saya tidak percaya semua sekolah negeri itu unggul. Di Jakarta saja hanya ada enam sekolah negeri yang unggul, sedangkan enam lagi adalah sekolah Protestan dan sembilan sekolah Katolik. Sekolah unggul ini mempunyai kriteria nilai Ebtanas cukup tinggi dibanding sekolah biasa. Pernah ada yang memprotes kebijakan ini dengan mencap pemerintah melakukan diskriminasi.
Sebetulnya itu bukan diskriminasi, sebab buat apa memaksakan masuk ke sekolah unggul jika kromosomnya tidak mampu, toh? Seperti saya misalnya yang tidak bisa musik, walau dididik oleh Pavarotti sekalipun tetap tidak akan bisa main musik.


SH:Bagaimana perkembangan pendidikan terakhir?
J.Drost: Katanya sekarang akan dicoba penjurusan SMA mulai kelas 1. Jurusan IPA khusus menerima lulusan SMP yang nilainya di atas 7. Tapi saya menyangsikan peraturan ini. Biasanya kepala sekolah tidak berani menolak murid yang di bawah standar karena orangtuanya punya katebelece atau surat sakti atau juga duit.

SH: Mengapa ada anggapan di Indonesia bahwa anak yang masuk ke IPA lebih dianggap pintar daripada jurusan sosial?
J.Drost: Itu karena kesalahan orangtua. Merekalah yang menganggap demikian. Padahal dulu semua jurusan baik itu IPA, Sos atau Bahasa sama saja. Kenyataannya, Sofyan Wanadi dulu di Kanisius hanya masuk jurusan C, tapi lihat saja kini ia dan teman-temannya menjadi direktur.
Yang menjadi penyebab utama adalah karena di Indonesia tidak ada sekolah bagi yang pintar dan tidak pintar. Maka sebagai akibatnya penjurusan IPA dan IPS dianggap penggolongan pintar dan tidak pintar. Dulu pernah saya diprotes, mengapa anak Sos tidak bisa ke kedokteran. Mereka bilang diskriminasi. Jelas saja tidak bisa, karena kurikulumnya tidak klop. Dan kalau mereka bilang diskriminasi, saya bilang yang melakukan diskriminasi itu adalah kromosom orangtuamu sendiri,
.

1 Kommentar:

  1. diskusi yg hangat...sya sependapat dengan pemikirang P. Drost...

    AntwortenLöschen