alm.Pater Drost S.J.
Kalau oleh instansi-instansi resmi dikatakan bahwa kerusuhan sebelum, selama, dan sesudah kampanye pemilu tidak disebabkan oleh kesenjangan sosial, pendapat itu mungkin benar kalau kesenjangan sosial amat disempitkan dan disamakan dengan kesenjangan ekonomi. Yang lazim dikatakan, kelompok penghasut adalah penyebab kerusuhan.
Alasan itu membuat orang geleng-geleng kepala. Walaupun ada banyak sekali penghasut, kalau tidak ada massa yang dapat dihasut, mustahil timbul kerusuhan. Hemat saya, mereka yang berwenang menghindari pokok masalah, maka terpaksa mencari kambing hitam.
Yang ingin diobati ialah massa. Cara itu cenderung gagal. Kenapa? Yang perlu diobati ialah pribadi-pribadi, bukan sebuah kolektivitas, bukan kawanan. Selama pribadi-pribadi masih belum dewasa, belum berpendirian, mustahil mereka menghadapi yang sedang bergolak di dalam masyarakat secara dewasa pula. Karena mereka merasa terancam sebagai individu, mereka meleburkan diri ke dalam massa. Itu berarti menghilangkan pribadi mereka, otentisitas mereka dengan menjadi anggota kawanan yang secara kolektif membela diri dari ancaman luar.
Hanya massa yang terdiri atas individu-individu yang berkepribadianlah yang tidak akan terhasut untuk menimbulkan kerusuhan. Jadi, masalah pokok adalah kolektivitas. Sadar atau tidak sadar, yang berkuasa menguasai mereka yang ada di bawah dengan cara kolektivitas. Karena, itu mengubah pribadi-pribadi kreatif menjadi penurut. Dan kolektivitas, yang berarti menjadi manusia anggota kawanan, hanya dapat dicapai lewat penyeragaman bernalar dan bertindak. Proses itu sudah dimulai ketika manusia masuk institusi yang dikuasai oleh yang berkuasa.
Jadi, mulai dari TK sampai dengan SMU segala-galanya harus sama dan seragam. Pakaian, sepatu, peci, dan rambut harus seragam. Kepribadian diri maupun ciri-ciri khas sekolah tidak boleh ada lagi. Dan, sejak tahun 1994, puncak penyeragaman semua pelajar Indonesia yang begitu bineka kebudayaan, begitu beranekaragam kemampuan belajar, harus mengikuti kurikulum di sekolah menengah, yaitu SLTP dan SMU, yang mutlak sama.
Di perguruan tinggi tidak ada pakaian seragam. Namun kurikulum, sistem ujian, pilihan mata kuliah efektif, dan praktikum harus seragam dan sama. Dan, itu semua akan membentuk orang yang hanya boleh berpikir apa yang diajarkan oleh guru dan mahaguru, disadari atau tidak. Keseragaman berpikir berarti tidak adanya kreativitas.
Selesai studi, mereka menjadi pegawai negeri. Itu berarti berpakaian seragam lagi. Dan, di kantor-kantor terdapat buku pedoman atau buku petunjuk pelaksanaan sehingga tidak ada ruang berpikir, selain yang ditentukan oleh kekuasaan. Itulah birokrasi. Jadi jelaslah, itu berlawanan dengan semangat pengusaha (entrepreneur). Mustahil akan ada kerja sama, karena setiap penyeragaman berarti pemenggalan (nivellering): sama rasa, sama rata.
Seniman dan Wirausahawan
Karena penyeragaman mustahil dilaksanakan ke atas, mau tak mau harus ke bawah. Bukit-bukit diratakan. Tidak lagi ada monumen, tidak ada lagi tugu. Yang ada hanya jalan aspal. Tidak mungkin menyeragamkan pakaian dengan gaun dari butik. Lebih gampang dengan kain belacu yang dibeli di Pasar Rumput. Suasana menjadi pudar tanpa ada unsur seni lagi. Menyeragamkan kurikulum menjadi unggul dan cemerlang mustahil juga, maka hampir semua SMU mengikuti kurikulum yang dicairkan. Dan, kemampuan intelektual menjadi itu-itu saja.
Yang tidak berpikir dan tidak bertindak seperti kerumunan orang dan tidak pernah memakai seragam adalah para seniman dan wirausahawan. Maka, mereka mempunyai nama internasional. Akibatnya, kaum muda tidak dibentuk menjadi pribadi yang berani berpendapat lain dari yang berkuasa, entah dalam keluarga, entah di kelas sekolah, entah di perguruan tinggi, entah di politik.
Dengan sistem penyeragaman dalam pembentukan calon pemimpin kita, kebebasan berani berselisih pendapat dalam loyalitas tidak akan teraih.
Memantapkan ketahanan nasional tidak dapat dicapai dengan pendidikan dan pembentukan dengan semangat penyeragaman. Tapi, dengan menciptakan lingkungan hidup tempat orang dapat mengembangkan jati dirinya sendiri, ialah pribadi yang otentik.
Tuhan menciptakan semesta alam yang beranekaragam. Bagi Tuhan, tidak satu manusia pun yang sama dengan manusia lain. Pendidikan dalam keluarga hanya dapat berhasil bila berlangsung sosialisasi di antara pribadi yang berbeda. Orkes menuntut keanekaragaman. Justru dalam berlaga (concertare) beranekaragam warna nada, keindahan abadi diraih. Demikian juga dalam orkes hidup.
grosir jual seragam tk
AntwortenLöschenbaju princess anak, baju karnaval anak, seragam tk
AntwortenLöschen